Beranda | Artikel
Benarkah Masalah Khilafiyah Tidak Perlu Diingkari?
Senin, 18 Juni 2012

Pernyataan bahwa masalah khilafiyah tidak perlu diingkari tidaklah tepat. Yang tepat kita katakan,

لا إنكار في مسائل الاجتهاد

“Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah.”

Karena masalah khilafiyah sebenarnya ada dua macam:

1. Masalah yang sudah ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits dan tidak bisa ditentang, juga terdapat pendukung dari ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika dalam masalah ini ada orang yang berpendapat keliru yang datang belakangan dan menyelisihi ijma’ atau menyelisihi qiyas jalii, maka masalah semacam ini boleh diingkari karena menyelisihi dalil.

2. Masalah yang tidak ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits, ijma’, atau qiyas jalii atau terdapat hadits yang mendukung, akan tetapi diperselisihkan tentang keshahihan hadits tersebut atau hadits tersebut tidak jelas menjelaskan hukum dan bisa dimaknai dengan berbagai pernafsiran. Untuk masalah kedua, perlu adanya ijtihad dan penelitian mendalam tentang hukumnya.

Ibnu Taimiyah berkata, “Masalah ijtihadiyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh seorang pun memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan tetapi yang dilakukan adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika telah terang salah satu dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah. Namun untuk pendapat yang lain tidak perlu diingkari (dengan keras).” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80)

Contoh Masalah Khilafiyah

Masalah khilafiyah yang sudah ada nash tegas di dalamnya yang masuk dalam kategori pertama di atas yang jelas menyelisihi dalil dan patut diingkari seperti:

1. Mengingkari sifat-sifat Allah yang Allah telah memujinya sendiri dan telah ditetapkan pula oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengingkaran semacam ini bisa jadi dalam bentuk takwil yaitu memalingkan dari makna sebenarnya yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan hadits.

2. Mengingkari kejadian-kejadian di masa mendatang seperti tanda-tanda kiamat yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya mengingkari munculnya Dajjal dan turunnya Nabi Isa di akhir zaman.

3. Bolehnya memanfaatkan riba bank padahal riba telah jelas diharamkan.

4. Membolehkan nikah tanpa wali.

5. Membolehkan alat musik padahal termasuk kemungkaran sebagai disebutkan dalam dalil Al Qur’an dan hadits. Bahkan para ulama empat madzhab telah sepakat akan haramnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِنْ أَتْبَاعِ الْأَئِمَّةِ فِي آلَاتِ اللَّهْوِ نِزَاعًا

“Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 576-577)

6. Menyatakan tidak dianjurkan shalat istisqo’ (minta hujan) padahal telah terdapat dalil dalam Bukhari dan Muslim, juga yang lainnya yang menunjukkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamm dan para sahabatnya untuk melaksanakan shalat tersebut.

7. Pendapat yang menyatakan tidak dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal setelah melaksanakan puasa Ramadhan.

Masalah yang masih masuk ranah ijtihad yang boleh kita toleran dalam masalah ini seperti:

1. Perselisihan mengenai apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di dunia.

2. Perselisihan apakah si mayit bisa mendengar pembicaraan orang yang masih hidup ataukah tidak.

3. Batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, menyentuh wanita atau sebab makan daging unta.

4. Qunut shubuh yang dibacakan setiap harinya.

5. Qunut witir apakah dibaca sebelum ruku’ atau sesudahnya.

Syaikh Sholeh Al Munajjid berkata, “Masalah ini dan semisalnya yang tidak ada nash tegas di dalamnya yang menjelaskan hukumnya, maka tidak perlu diingkari dengan keras jika ada yang menyelisihi selama ia mengikuti salah satu ulama terkemuka dan ia yakin itu benar. Akan tetapi tidak boleh seorang pun mengambil suatu pendapat ulama seenak hawa nafsunya saja. Karena jika melakukan seperti ini, ia berarti telah mengumpulkan seluruh kejelekan.

Jika dikatakan tidak perlu mengingkari dengan keras pada orang yang menyelisihi dalam masalah ijtihadiyah, bukan berarti masalah tersebut tidak perlu dibahas atau tidak perlu dijelaskan manakah pendapat yang lebih kuat (rojih). Bahkan ulama dahulu hingga saat ini telah membahas masalah ijtihadiyah semacam ini. Jika telah jelas manakah pendapat yang benar, maka hendaklah kita rujuk padanya.” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 70491)

Penjelasan Para Ulama

Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ada yang mengatakan bahwa masalah khilaf tidak perlu diingkari, maka itu tidaklah benar jika melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau amalan. Jika ada ucapan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama), maka wajib mengingkarinya. Jika masalah tersebut tidak disepakati, maka boleh mengingkari untuk menjelaskan bahwa pendapat tersebut lemah dan menyebutkan pendapat yang benar dari ulama salaf atau para fuqoha’. Adapun jika ada amalan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’, maka wajib mengingkarinya tergantung pada bentuk kemungkarannya. … Adapun jika dalam suatu permasalahan tidak ditunjukkan dalil yang tegas, juga tidak ada ijma’, maka berijtihad ketika itu dibolehkan dan tidak perlu orang yang berijtihad dan yang mengikuti diingkari dengan keras. … Dalam masalah ijtihad ini selama tidak ada dalil yang tegas tidak perlu sampai mencela para mujtahid yang menyelisihinya seperti dalam permasalahan yang masih diselisihi para salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 9: 112-113)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Masalah khilaf sudah terjadi di antara para sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka –radhiyallahu ‘anhum ajma’in-. Hal seperti ini tidak perlu diingkari. Demikian mereka juga berkata bahwa tidak boleh bagi seorang mufti (ahli fatwa) dan tidak pula seorang qodhi (hakim) menentang orang  yang menyelisihinya selama hal itu tidak menyelisihi dalil yang tegas, ijma’ (kesepakatan ulama) dan qiyas jalii.” (Syarh Muslim, 2: 24)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Masalah khilafiyah terbagi menjadi dua macam:

1. Masalah ijtihadiyah yang boleh ada khilaf di dalamnya. Untuk masalah ini tidak boleh mengingkari dengan keras orang yang berijtihad. Adapun untuk orang awam, hendaklah mengikuti pendapat ulama yang ada di negeri masing-masing agar tidak keluar dari pendapat masyarakat yang ada. Karena jika kita katakan pada orang awam, “Ikutilah pendapat apa saja yang kau dapati.” Akhirnya seperti ini, umat tidak bersatu.  Oleh karenanya Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata,

العوام على مذهب علمائهم

“Madzhab orang awam adalah sesuai dengan ulama mereka.”

2. Masalah yang tidak boleh ada perselisihan di dalamnya dan bukan ranah ijtihad. Untuk masalah kedua ini boleh diingkari orang yang menyelisihinya karena tidak ada udzur saat itu.” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 49)

Kami tutup dengan nasehat bagi orang yang berilmu yang banyak jadi panutan. Imam Malik berkata,

لَيْسَ لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ

“Tidak boleh bagi seorang faqih (yang berilmu) mengajak manusia pada madzhabnya.”  (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80). Namun ajaklah untuk mengikuti dalil.

Wallahu waliyyut taufiq.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, tengah malam 27 Rajab 1433 H

www.rumaysho.com


Artikel asli: https://rumaysho.com/2520-benarkah-masalah-khilafiyah-tidak-perlu-diingkari.html